Profil Desa
Desa Gubugklakah
Desa Gubugklakah adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Gubugklakah memiliki berbagai macam potensi tidak hanya dalam sektor pertanian dan perkebunan, namun juga pada sektor wisata seperti Coban Bidadari, Coban Trisula, Coban Pelangi, Petik Apel dan masih banyak lagi. Desa Gubugklakah adalah jalur utama menuju pariwisata Pegunungan Bromo Tengger Semeru. Di Desa Gubugklakah ini juga merupakan desa penghasil buah apel Malang setelah Kota Batu.
Desa Gubugklakah merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Desa Gubugklakah adalah salah satu desa penghasil apel di Indonesia. Apel hasil panen diolah menjadi berbagai jenis makanan, beberapa diantaranya adalah keripik apel, sarang apel, dan sari apel. Gubugklakah juga merupakan desa wisata dengan berbagai tempat wisata yang menarik seperti Gunung Bromo, Coban Pelangi, Coban Trisula, dan masih banyak tempat wisata lainnya yang tak kalah menarik. Desa Wisata Gubugklakah adalah salah satu desa wisata di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang yang merupakan salah satu akses menuju kawasan Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Keberadaannya di daerah pegunungan menjadikan Desa Wisata Gubugklakah memiliki hawa yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 200C hingga 220C. Sedangkan rata – rata kelembapan nisby 20% dengan curah hujan 2000 mm per tahun. Kerjasama yang dilakukan oleh Ladesta Gubugklakah dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang telah menghasilkan beberapa kegiatan pengembangan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pariwisata yang ada di Desa Wisata Gubugklakah. Kegiatan pengembangan tersebut dilakukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia pariwisata yang siap mencari, menerima, serta melayani wisatawan yang nantinya akan berkunjung ke Desa Wisata Gubugklakah.
Sejarah Desa
Oleh Amin Karyanata kusumadipura
Dijaman kejaya’an Kerajaan Singhasari pada masa itu diRajai oleh Prabu Kertanegara, gagasan Prabu Kertanegara ingin menyatukan bumi Nuswantara sangatlah besar. Sehingga mengutus para punggawanya untuk selalu mendukung serta berani mengorbankan segala hal yang dimilikinya, meski nyawa sebagai taruhannya.
namun gagasan itu tidak sepenuhnya di dukung semua para punggawa kerajaan, salah satunya sang Patih sendiri, yaitu Gusti Patih Raganata.
glagat itupun tercium oleh maharaja, Sang Raja mengambil langkah lain yaitu langsung mengangkat Patih baru dihadapan para Prajurit. Patih baru itu bernama Gusti Aragani. Yang dulunya senopati, kini menjadi Patih Kerajaan Singhasari.karena Gusti Aragani sependapat dengan Maharaja untuk menyatukan bumi Nuswantara.
Gusti Patih Raganata sangatlah tersinggung atas keputusan Raja Kertanegara karena mengangkat langsung Gusti Aragani, yang dulunya sebagai bawahan Gusti Raganata.
Gusti patih Raganata pun mbalelo,dia menentang atas perintah sang Raja, bahkan merongrong kewibaawa’an Kerajaan, hingga disuatu hari setelah terjadi peperangan antara Gusti Raganata dengan Gusti Aragani tanpa diketahui Sang Raja, gusti Aragani kalah, lalu putranya tidak terima, terbunuhlah Gusti Raganata ditangan Mapanji Putra dari Gusti Aragani,
Dewi Tunjungsari Putri Gusti Raganata tidak lain adalah kekasih Mapanji mengadukan kepada sang Raja. Prabu Kertanegara pun memberi hukuman terhadap Gusti Patih Aragani dengan hukuman Penjara keraja’an, Ananda Mapanji pun juga demikian, namun hukuman untuk Mapanji yaitu menggantikan tugas-tugas dari Gusti Patih Raganata.
para prajurit (Pengikut) Aragani banyak yang mbalelo dan kabur dari kerajaan, salah satunya kearah lereng Gunung Bromo, mereka membuat tempat persembunyian diarea sekitar lereng-lereng Gunung Bromo. mereka memperdalam ilmu kesaktian guna untuk merongrong kawibawa’an kerajaan, salah satunya dengan cara merampok, menculik serta melakukan kejahatan lainnya.
sang Prabu Kertanegara geram, lalu mengirim para senopati untuk menyudahi para perampok-perampok tersebut.
Senopati- Senopati tersebut berangkat ke lereng Bromo Tengger guna mengemban tugas dari sang maharaja, mereka memakai nama samaran agar tidak di ketahui para perampok, karena perampok-perampok tersebut juga sebagian dari kalangan kerajaan yang mbalelo, nama-nama tersebut sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Mbah Mardiya, Mbah Macan Putih (Menamai sesuai ilmu yang didalaminya), Mbah Sedhek, Mbah kusumo (Mbah Sumo), dan Mbok Rondo Kuning. Mbok Rondo Kuning adalah putri dari Mpu kendhil Wesi.
Dimasa itu lereng tengger masih hutan belantara dan tidak ada akses jalan, para kelima tokoh yang didampingi prajurit berjumlah sedikit pun melintasi hingga berhari-hari bahkan berbulan bulan untuk mencari keberadaan para penjahat tersebut, karena begitu luasnya lereng gunung bromo.
Bertarung dengan sato galak atau hewan-hewan liar yang ada dalam hutan serta berbagai makhluk halus yang terusik keberada’an para lima tokoh itupun kerap terjadi. Karena wingitnya daerah lereng bromo.
sesampai di area tempat persembunyian para perampok.
kelima tokoh itu pun langsung menyerang. Dengan di persenjatai “Kudi Trantang/ Kudi Rancang” serta senjata-senjata lainnya seperti tongkat mbah Mardiya yang bernama Mustikaning Jambu, Serta piagem Mbok Rondo Kuning dengan Cunduk saktinya. Dan masing-masing menggunakan piagem atau rompi Antakusuma yang tahan dari segala senjata serta tahan terhadap ilmu Ghaib.
Perang terjadi hingga para perampok kocar kacir.
adapun tempat-tempat terjadinya peristiwa itu, oleh masyarakat masih di kenang hingga sekarang, antara lain Plerenan, Tungguk’an,, Beteteh, Njemplang, Ngrujak, Trisula, Gunungsari.
Plerenan adalah bahasa jawa yang artinya Peristirahatan, ketika para Tokoh tersebut melepas lelah dalam mencari keberada’an para perampok.
Tungguk’an adalah bahasa jawa yang artinya Menunggu. Dan kala itu tempat yang sekarang dinamai Tunggukan berawal ketika para tokoh menunggu hendak menghadang para perampok.
Beteteh adalah bahasa jawa yang artinya Mengeluarkan adu kesaktian dalam peperangan terjadi.
Njemplang adalah bahasa jawa yang artinya tanah menurun dan setengah lapang setelah menaiki Pusung/ tanjakan, dalam pengejaran para perampok yang mulai melemah.
Ngrujak adalah bahasa jawa yang artinya dihancurkan/dilebur dengan senjata tajam. Para perampok dibunuh dengan cara tubuhnya tercacah dan sengaja tidak dikuburkan agar jadi pelajaran, siapa yang menyalahi akan di hancurkan seperi pemberontak/perampok.
Trisula adalah salah satu jenis pusaka, yang jaman dulu ditancapkan kedaerah tersebut sehingga sekarang dikasih nama TRISULA
Gunungsari, ketika itu mbah Mardiya memandang antara kanan dan kiri ada sebuah gunung yang elok/ indah yang membawa aura positif. Maka dikasih nama Gunungsari.
Nama-nama julukan tersebut masih ada dijaman sekarang.
Setelah usai peperangan yang menghabiskan waktu cukupa panjang, mengenang sama-sama sakti, para Tokoh pun turun dan beristirahat untuk beberapa hari. Setelah dirasa cukup, para Tokoh saling berpisah untuk mencari tempat tinggal, sesuai janji Maharaja, jika berhasil melenyapkan para pemberontak ataupun perampok yang dimaksud Raja, maka di beri hadiah berupa kebebasan untuk membuat suatu wilayah Desa (membuat Karang Padesan). Guna memperluas pemukiman serta wilayah penduduk.
Mbah mardiya tetap di bawah sedikit area peperangan dan membuat Gubug atau Rumah tinggal dari serba pohon bambu, orang jawa menyebut Pring ada juga yang menyebutnya klakah.
Klakah adalah pohon bambu yang dibelah dua, dan ditata lalu dijadikan atap rumah.
Mbok Rondo Kuning kebawah lagi kira-kira 4-5 kilometer dari mbah mardiya dan menetap disana.
Mbah Sumo membuat daerah yang sekarang dikenal sebagai Poncokusumo yang diambil dari Ponco yang artinya lima ( yang dimaksud adalah Lima tokoh seperjuangan: mbah mardiya, mbah macan putih, Mbah sedhek, Mbah Sumo, Mbok Rondo Kuning). Kata Sumo diambil namnya sendiri. Jadi istilah Poncokusumo adalah kabungan tersebut, dan juga membawa arti lima kembang / yang membawa harum.
Ada banyak daerah daerah yang sekarang dipakai hingga sa’at ini.
Silih berganti hingga usai kejayaan singhasari, serta hancurnya kerajaan, dan menciptakan generasi baru yaitu Kerajaan Majapahit dengan Mahapatih Gajahmada yang namanya tersohor di penjuru dunia. Keraja’an Majapahit yang ditakuti dunia dimasa itu. Gagasan-gagasan Singhasari untuk menyatukan Nuswantara yang tidak mampu dilakukan kerajaan Singhasari, telah dilakukan oleh kerajaan Majapahit.peninggalan-peninggalan kerajaan singhasari pun diwarisi Majapahit hingga sukses menyatukan bumi Nuswantara.
Ketika mulai Runtuh, masuklah Agama Islam ke tanah Jawa dan mampu masuk dikeraton Majapahit yang awalnya Hanya menganut Agma Hindu dan Budha.
Masuknya Agama Islam diMajapahit pun juga menuai Pro dan Kontra yang sangat luar biasa, hingga terjadi pemberontakan-pemberontakan didaerah pinggir. Dan keraja’an- keraja’an kecil bawahan Majapahit.
Penyebaran Agama Islam di penjuru tanah jawa dilakukan, salah satunya juga didaerah lereng tengger/ bromo. Yang tidak lain menelusuri jejak mbah mardiya dan ke empat tokoh tersebut dimasa kejayaan Singhasari.
Para tokoh penyebar Agama Islam ke lereng Bromo Tengger tersebut salah satunya Mbah Ashari, dan Mbah Jasimak, beliau disamping memperluas Ajaran Agama Islam juga memberantas pemberontak, sama halnya yang dilakukan mbah Mardiya serta ke empat seperjuangnannya di era Singhasari. serta juga membuat karang padesan/atau Pedesa’an.
Banyak daerah-daerah yang telah diberi tanda, yang sekarang menjadi nama Desa. Salah satunya adalah Desa Gubugklakah.
Munculnya nama Desa Gubugklakah adalah, ketika Mbah Ashari tengah perjalanan ke lereng Bromo Tengger, beliau melihat ada suatu Gubug tua yang terbuat dari bambu (Tempat tinggal alm mbah Mardiya). Lalu mbah Ashari menamai daerah tersebut dengan nama Gubugklakah, mbah Ashari tinggal di bagian atas (Ujung Desa), dan Mbah Jasimek dibagian bawah. Mbah jasimek mempunyai tongkat sakti yang diberinama Mustikaning Kelor yang konon ditancapkan didaerah Desa Gubugklakah, sedangkan Tongkat Mbah Mardiya dulunya ditancapkan diatas (ujung desa).
Kedua Tongkat tersebut mempunyai arti dan watak sendiri-sendiri.
Tongkat Mustikaning Jambu memiliki arti Kertasari yang maknanya adalah ilmu dan persaudara’an, sedangkan tongkat milik Mbah jasimek memiliki arti Kerta Ayu, yang maknanya Kecantikan, Keindahan dan memiliki watak matrialistis serta jabatan.
Ketika itu mbah Ashari pernah mengucapkan suatu pesan, nantinya Orang Gubugklakah jika mau bekerjasama antara penduduk Gubugklakah Bagian bawah dan bagian atas. Maka Daerah ini akan menemukan Kejaya’an.
Itu sebagai bentuk hukum alam yang telah terjadi, pesan tersebut bermakna luar biasa, yang mengajarkan arti kehidupan, persaudara’an serta kekompakan untuk selalu bersatu. Karena hanya kesatuan lah yang mampu membentu kekuatan dibidang apapun.
Mata Pencaharian
Penggunaan Lahan
No | Jenis Lahan | Jumlah (Ha) |
---|---|---|
1 | Pemukiman | 12 |
2 | Perkantoran | 1 |
3 | Prasarana Umum | 4 |
4 | Pertanian | 326 |
5 | Pekarangan | 39 |
6 | Makam | 2 |
Jumlah | 384 |
Jenjang Pendidikan
No | Pendidikan | Jumlah (Jiwa) |
---|---|---|
1 | Perguruan Tinggi | 36 |
2 | SLTA / SMA | 132 |
3 | SLTP / SMP | 631 |
4 | SD | 1973 |
5 | Tidak Sekolah | 280 |
6 | Belum Sekolah | 682 |
Jumlah | 3734 |
Filosofi Logo Desa
Logo desa ini menggambarkan keindahan dan kesejahteraan dengan simbol-simbolnya: air melambangkan kehidupan dan kesuburan, bunga yang bertumbuh mewakili perkembangan dan kemajuan, rumah sebagai tanda kehangatan dan kebersamaan warga, serta buah apel dan daunnya yang menunjukkan kekhasan desa dengan perkebunan apel yang melimpah, mencerminkan hasil bumi yang berkualitas dan identitas lokal yang kuat. | |
Simbol bintang memiliki makna harapan dan aspirasi tinggi, serta prestasi dan cita-cita yang ingin dicapai oleh masyarakat desa. | |
Logo tersebut memiliki bentuk lingkaran, maknanya adalah kesatuan, keutuhan, dan kebulatan tekad. Lingkaran melambangkan harmoni dan keseimbangan, menunjukkan bahwa desa ini memiliki masyarakat yang bersatu dan kompak dalam mencapai tujuan bersama, serta menggambarkan siklus kehidupan yang berkelanjutan dan saling terhubung. | |
Warna hijau melambangkan kesegaran, kesejahteraan dan kemakmuran | |
Warna abu-abu melambangkan stabilitas, kebijaksanaan, dan keseimbangan |